PERBINCANGAN mengenai pelatihan tindakan sectio caesarea (SC) untuk dokter umum muncul ke permukaan dengan cepat dan memicu berbagai tanggapan.
Di satu sisi, gagasan ini muncul dari keinginan untuk mengatasi masalah akses layanan kebidanan di daerah terpencil.
Namun di sisi lain, respons keras dari komunitas medis, organisasi profesi, dan masyarakat menunjukkan bahwa belum ada kesepakatan etis, sistemik, maupun operasional untuk mengatur hal sepenting ini.
Sebagai seorang praktisi yang juga mendalami manajemen sistem kesehatan, saya melihat ini bukan sekadar persoalan boleh atau tidak, melainkan tentang kematangan sistem dalam menyeimbangkan kebutuhan darurat dan prinsip kehati-hatian.
Dalam dunia medis, niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan sistem yang kuat agar niat tersebut tidak berubah menjadi sumber risiko.
SC bukan sekadar prosedur teknis. Ini adalah tindakan besar yang melibatkan keputusan klinis yang rumit, pemahaman mendalam tentang anatomi dan fisiologi kebidanan, serta kesiapan menghadapi komplikasi pascaoperasi.
Baca juga: MBG, Anak-anak, dan Kontrak Sosial yang Rapuh
Pelatihan singkat untuk dokter umum tidak akan mampu menggantikan tahun-tahun pembentukan kompetensi yang dilalui oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
Jika tindakan ini diserahkan tanpa jaminan mutu, maka keselamatan pasien dan kredibilitas layanan primer yang akan menjadi taruhannya.
Memang, dalam situasi darurat atau krisis, pernah ada kasus di mana dokter umum bahkan dokter bedah melakukan SC karena tidak ada alternatif lain.
Namun, praktik semacam itu tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi standar. Hal ini terjadi karena kegagalan sistem dalam mendistribusikan tenaga ahli secara merata.
Pertanyaannya adalah, apakah kita ingin menjadikan kegagalan tersebut sebagai norma?
Jika kita melihat ke negara-negara seperti Australia dan Kanada, kita akan menemukan model GP obstetrician atau family physician yang memiliki kompetensi SC.
Namun, perlu ditekankan bahwa mereka menjalani program khusus setara fellowship, sertifikasi yang ketat, serta berada dalam sistem pengawasan yang kuat.
Tidak ada yang mempelajari SC dalam waktu singkat hanya karena alasan distribusi. Dalam sistem kesehatan yang matang, perluasan kompetensi selalu diikuti oleh perluasan tanggung jawab dan penguatan struktur pendukung, seperti fasilitas anestesi, NICU, dan lain-lain.
Di Indonesia, diskusi ini muncul di tengah transisi besar setelah disahkannya UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023.