Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com
Jakarta: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia bekerja sama dengan University of Malaya, Malaysia, dengan dukungan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Japan Agency for Medical Research and Development (AMED), melaksanakan program kerja sama penelitian bernama ‘Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS)’.
Perkembangan proyek SATREPS pada tahun keempat ini dipantau dan dievaluasi bersama oleh perwakilan dari ketiga negara dalam acara The 4th Joint Coordinating Committee Meeting yang diselenggarakan di Gedung BJ Habibie-BRIN, Jakarta, pada Selasa, 18 Februari 2025.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peneliti Indonesia dan Malaysia dalam mengembangkan obat-obatan, terutama untuk penyakit seperti malaria, amebiasis, demam berdarah, dan tuberkulosis. Proyek ini telah berjalan sejak 27 September 2021 dan direncanakan berlangsung selama lima tahun.
BRIN menggandeng IPB University sebagai mitra riset lokal. Sementara itu, beberapa lembaga penelitian terkemuka dari Jepang dan Malaysia yang terlibat antara lain The University of Tokyo, Nagoya Institute of Technology, Bozo Research Center, Universiti Putra Malaysia, dan Universiti Teknologi Mara.
Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono, menyoroti tantangan kesehatan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan penyakit infeksi seperti tuberkulosis dan demam berdarah dengue. Menurutnya, Indonesia memiliki posisi strategis dalam penelitian pengobatan berkat kekayaan sumber daya hayatinya.
Selain itu, Agus menekankan pentingnya peningkatan kapasitas riset dan inovasi untuk mendorong transformasi ekonomi berkelanjutan yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Indonesia termasuk dalam negara dengan beban tuberkulosis tertinggi di dunia, dengan ribuan kasus baru muncul setiap tahun. Meskipun ada berbagai upaya global, kasus tuberkulosis yang resisten terhadap obat terus meningkat, membuat pengobatan semakin sulit,” ujar Agus dalam keterangan resmi.
“Sementara itu, demam berdarah, infeksi virus yang ditularkan melalui nyamuk, terus memengaruhi jutaan orang Indonesia, sehingga membebani sistem kesehatan kita. Mengingat terbatasnya pilihan pengobatan saat ini, kebutuhan akan obat dan terapi baru menjadi semakin mendesak,” jelasnya.
Menurut Agus, Proyek SATREPS memiliki nilai strategis dalam memperkuat ekosistem riset pengembangan obat di Indonesia. Selain itu, proyek ini menjadi upaya untuk mencari solusi atas permasalahan kesehatan di Indonesia dan dunia, terutama terkait penyakit menular.
Oleh karena itu, ia berharap para peneliti yang terlibat dapat memanfaatkan proyek SATREPS dengan baik. Melalui proyek ini, kapasitas dan jaringan riset yang diperlukan untuk pengembangan obat dapat ditingkatkan.
Dalam acara ini, kemajuan riset pengembangan obat oleh tim peneliti dari Indonesia dan Malaysia dipresentasikan. Prof. Tomoyoshi Nozaki dari The University of Tokyo, selaku Chief Advisor proyek SATREPS, memberikan apresiasi kepada tim peneliti dari kedua negara atas pencapaian yang telah diraih hingga saat ini.
Ia menekankan pentingnya fokus pada optimalisasi struktur senyawa kandidat obat dan uji non-klinis di tahun-tahun mendatang, mengingat signifikansi kedua aspek tersebut dalam proyek SATREPS.
Seperti diketahui, lanjut Agus, Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, tempat tinggal ribuan spesies tanaman, organisme laut, dan mikroorganisme yang potensinya sebagai obat belum sepenuhnya dieksplorasi.
Menurutnya, banyak pengobatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat adat telah menunjukkan potensi efek antimikroba dan antivirus. Validasi ilmiah dan upaya penemuan obat yang sistematis dapat mengubah sumber daya alam ini menjadi obat-obatan yang menyelamatkan jiwa.
“Sumber daya hayati kita memiliki potensi yang belum tergali untuk pengembangan senyawa anti-TB dan antivirus baru. Dengan berinvestasi dalam bioprospeksi dan penelitian produk alami, kita dapat mengidentifikasi molekul bioaktif yang dapat menjadi dasar untuk obat baru,” ujarnya.
“Kolaborasi antara praktisi pengobatan tradisional dan ilmuwan modern dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan asli dan pengembangan farmasi modern,” jelas Agus.
Selain memantau kemajuan proyek secara strategis, para peneliti dari ketiga negara juga mendiskusikan perkembangan penelitian secara teknis dalam acara Scientific Meeting yang diselenggarakan pada tanggal 17 Februari 2025 di KST BJ Habibie Serpong.
Dalam acara tersebut, dipaparkan capaian signifikan seperti isolat mikroba baru, senyawa aktif anti-TB dan dengue yang baru, serta hasil pengujian senyawa-senyawa aktif tersebut. Selain itu, tim riset BRIN berhasil meningkatkan produksi senyawa aktif antimalaria dari mikroba hingga 10 kali lipat melalui proses mutasi dan seleksi, mendukung tahap pengembangan obat antimalaria selanjutnya.