Jakarta: Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung tidak sekadar persoalan kriminal. Kejadian ini seharusnya menjadi alarm sistemik bahwa di balik tindak kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan, terdapat kelemahan tata kelola yang telah dibiarkan terjadi dalam waktu yang lama.
Pengamat Manajemen Kesehatan dr. Puspita Wijayanti menegaskan, perbaikan yang diperlukan tidak hanya terfokus pada individu pelaku. Melainkan juga pada struktur, sistem, dan budaya kelembagaan.
“Saya menyarankan penguatan tata kelola obat-obatan berisiko tinggi, seperti penerapan sistem distribusi berbasis teknologi untuk obat anestesi dan high alert lainnya. Pengawasan harus menjadi bagian dari budaya institusi, bukan hanya formalitas dalam proses akreditasi,” jelas Puspita seperti dikutip dari Media Indonesia, Sabtu, 12 April 2025.
Dia menambahkan, peserta PPDS harus diintegrasikan dalam struktur sumber daya manusia yang terarah, dengan hak dan batasan akses yang disesuaikan dengan tingkat kompetensi. Setiap tindakan medis harus dilakukan dalam kerangka otorisasi dan pengawasan yang ketat.
“Selain itu, diperlukan pemantauan kesehatan mental yang berkelanjutan karena institusi pendidikan dan rumah sakit harus membangun sistem pemantauan psikososial yang aktif, bukan hanya tes kejiwaan saat proses penerimaan,” ujar dia.
Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi rutin, ruang aman untuk melaporkan masalah, serta pelatihan kesehatan mental yang harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan dokter.
“Kolaborasi regulatif antara kementerian dan lembaga profesi, mulai dari Kementerian Kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, organisasi profesi, hingga lembaga akreditasi perlu bersinergi dalam menyusun pedoman bersama. Tujuannya adalah menjembatani fungsi pelayanan dan pendidikan di rumah sakit agar tidak lagi muncul zona abu-abu yang penuh risiko,” tegasnya.