Ilustrasi. Foto: Medcom
M. Iqbal Al Machmudi • 20 Februari 2025 12:18
Jakarta: Penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah terdeteksi di sekitar 93 persen wilayah kota dan kabupaten. Tingkat kejadian (rate) DBD dikatakan masih cukup tinggi.
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Ina Agustina, mengungkapkan bahwa kasus DBD mencapai 10.752 hingga 16 Februari 2025. Angka kejadiannya sekitar 3,79 per 100 ribu penduduk dengan jumlah kematian mencapai 48 kasus.
“Jadi terlihat jelas bahwa tren dengue dari tahun ke tahun sejak 2016 menunjukkan pola yang sama. Biasanya, kasus akan meningkat pada akhir tahun, kemudian turun pada bulan Maret-April, dan mulai naik lagi pada Oktober, November, serta Desember. Puncaknya biasanya terjadi pada Januari, Februari, dan Maret,” kata Ina, seperti dikutip dari Media Indonesia, Kamis, 20 Februari 2025.
Pada tahun 2024, total kasus DBD di Indonesia hingga minggu ke-53 mencapai hampir 247 ribu dengan 1.418 kematian. Data tersebut mencakup 488 kota/kabupaten di 36 provinsi.
Selain DBD, penyakit lain yang perlu diwaspadai adalah chikungunya. Hingga Desember 2024, chikungunya ditemukan di 7 provinsi dengan total 571 kasus dan tidak ada kematian.
Ina menambahkan bahwa tren chikungunya mengalami peningkatan tahun ini. Meskipun tidak menyebabkan kematian, penyakit ini dapat berdampak pada kualitas hidup.
“Sebab, chikungunya menyebabkan nyeri sendi yang bisa bertahan hingga beberapa bulan. Hal ini dapat mengganggu kualitas hidup seseorang,” jelasnya.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang kewaspadaan peningkatan kasus dan kejadian luar biasa (KLB) dengue serta chikungunya pada tahun 2025. SE tersebut didasarkan pada hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan. Kemenkes memetakan peningkatan kasus hingga angka kematian yang terjadi.
Ina menyebutkan bahwa banyaknya kematian terjadi karena pasien terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan. Hal ini seringkali terjadi karena masyarakat menganggap DBD sebagai demam biasa.
“Selain itu, petugas kesehatan mungkin juga tidak menyadari kondisi pasien. Ketidaksadaran ini bisa terjadi karena pasien tidak diperiksa atau terlihat sehat sehingga tidak dipantau dengan baik,” ujar dia.