Jakarta: Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, mengungkapkan keprihatinannya terhadap masih tingginya angka kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia dan kegagalan mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 untuk mengeliminasi penyakit tersebut.
“Hari ini kita membahas upaya eliminasi TBC. Kita semua tahu ini bukan penyakit baru, tapi saya merasa angka kasusnya seolah-olah tak tersentuh,” ungkap Nurhadi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Percepatan Eliminasi Tuberculosis, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 7 Mei 2025.
Pada tahun 2024, tercatat 387 kasus per 100.000 penduduk, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia. Nurhadi menilai bahwa persoalan tingginya kasus TBC di Indonesia tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga terkait dengan perencanaan dan tata kelola program yang belum optimal.
“Menurut saya, ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga menyangkut perencanaan dan tata kelola yang perlu diperbaiki,” tegasnya.
Nurhadi juga mengkritisi fragmentasi dalam pelaksanaan program antara berbagai tingkatan pemerintahan dan sektor.
“Yang perlu kita perhatikan, anggarannya sudah sangat besar, tapi pelaksanaannya masih terlihat terpecah antara pusat dan daerah, antara fasilitas kesehatan publik atau swasta, serta antara kesehatan dan infrastruktur,” jelasnya.
Anggota NasDem dari Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Blitar, Kediri, Tulungagung, Kota Blitar, dan Kota Kediri) itu mengusulkan agar Panja Eliminasi TBC DPR RI fokus pada tiga hal penting ke depan.
Pertama, evaluasi menyeluruh terhadap realisasi program eliminasi TBC. Kedua, pemetaan sumber pembiayaan dan efektivitas penggunaan anggaran, termasuk skema insentif untuk fasilitas kesehatan serta peran dana desa yang perlu diperjelas.
Ketiga, lanjut Nurhadi, arah strategis 2025-2029 yang konkret dan melibatkan multisektor, bukan sekadar mengadopsi atau menyalin dari tahun-tahun sebelumnya,” tambahnya.
Nurhadi juga menegaskan bahwa eliminasi TBC bukan hanya isu medis, tetapi juga menyangkut keadilan sosial.
“Kita tidak bisa terus berdamai dengan angka kematian. Ini seharusnya bisa dicegah. Saya yakin ini bukan hanya persoalan medis, melainkan juga tentang keadilan sosial dan hak rakyat Indonesia untuk hidup sehat dan sejahtera,” tutupnya.