Ilustrasi TBC. DOK Medcom.id
Surabaya: Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Jawa Timur, melaporkan bahwa terdapat 16.098 orang yang terinfeksi Tuberkulosis (TBC). Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2024, yakni sebanyak 16.127 kasus.
“Hingga akhir 2024, telah teridentifikasi 12.096 kasus atau sekitar 75% dari perkiraan. Sampai 24 Maret 2025, ditemukan 1.917 kasus baru dari target yang ditetapkan tahun ini,” ujar Kepala Dinkes Surabaya, Nanik Sukristina, pada Rabu, 9 April 2025.
Nanik menjelaskan bahwa pihaknya terus berupaya mencapai target tersebut. Salah satu strateginya adalah dengan menerapkan pendekatan komprehensif, memperluas kolaborasi lintas sektor, serta mengoptimalkan upaya pencegahan dan pengobatan.
Menurutnya, keterlibatan berbagai pihak merupakan faktor kunci. Misalnya, melalui gerakan Cak dan Ning, yang akan melakukan investigasi terhadap minimal delapan orang yang memiliki kontak erat dengan pasien TBC pada setiap kasus baru. “Kami menargetkan 100% Investigasi Kontak (IK) pada 2025,” tegasnya.
Selain itu, Dinkes juga menyiapkan program skrining terintegrasi untuk TBC-PTM (Penyakit Tidak Menular) dan TBC pada anak. Kerja sama strategis dengan Universitas Airlangga (UNAIR) turut dijalin, khususnya dalam penanganan TBC pada anak-anak.
“Pemerintah Kota juga memperluas jaringan layanan TBC dengan melibatkan rumah sakit dan klinik, serta melakukan skrining terhadap kelompok berisiko tinggi seperti pasien HIV, diabetes, anak dengan gizi buruk, penderita ISPA atau pneumonia, pasien pasca Covid-19, dan calon jemaah haji,” paparnya.
Upaya lain yang dilakukan adalah penguatan jejaring internal di fasilitas kesehatan dengan melibatkan berbagai poliklinik, seperti poli paru, anak, penyakit dalam, bedah, hingga ruang IGD dan rawat inap. Tujuannya adalah untuk menjaring kasus yang terduga dan memastikan penanganan cepat bagi pasien TBC.
Dinkes juga mendorong integrasi program TBC-HIV. Setiap pasien TBC wajib menjalani tes HIV, dan sebaliknya, pasien HIV juga harus melalui skrining TBC. “Ini merupakan bagian dari optimalisasi penemuan kasus dan pencegahan penularan lebih lanjut,” jelasnya.
Selain fokus pada penemuan kasus, kata Nanik, pihaknya juga memperhatikan keberlanjutan pengobatan pasien. Langkah ini dilakukan melalui pendampingan intensif oleh tim ahli klinis (TAK) dan komunitas pendamping seperti KOPI TBC, serta melacak pasien yang belum memulai pengobatan atau putus berobat (lost to follow-up).
Untuk pasien TBC Resisten Obat (RO), layanan pengobatan tersedia di puskesmas satelit maupun rumah sakit rujukan, sementara pendampingan dilakukan oleh Peer Educator (PE). Dinkes juga bekerja sama dengan Dinas Sosial untuk menyediakan shelter dan bantuan seperti makanan tambahan (PMT), oksigen, serta sembako.
“Peningkatan mutu layanan juga menjadi prioritas. Kami mendorong fasilitas kesehatan untuk mengikuti proses akreditasi guna menjamin standar pelayanan,” tutupnya.